“Hingga kelapa ini tumbuh dan berbuah, kita akan berbuat banyak”
Terdengar sedikit heroik, tapi itulah yang dikatakan oleh Bahruddin saat menanam tunas kelapa yang menandai lahirnya sebuah sekolah alternatif bernama SMP Qaryah Thayyibah (Q-Tha). Pemuda itu baru saja usai rembugan dengan sekitar 30 warga desa Kalibening-Salatiga. Tidak sampai separuh dari mereka yang kemudian mempercayai ide Bahruddin dan mau menyerahkan anaknya menjadi murid SMP Q-Tha. Tercatat, hanya ada 12 orang murid angkatan pertama mereka. Termasuk anak Bahruddin sendiri yang ditariknya dari sebuah sekolah negeri.
Itu adalah penggalan kisah 6 tahun lalu, saat warga desa Kalibening mengalami kesulitan massal periodik. Yaitu saat masa pendaftaran sekolah atau siswa baru (PSB) dimulai. Mahalnya biaya di sekolah lanjutan plus biaya transportasi harian karena jauhnya jarak rumah dan sekolah di kota, membuat Bahruddin mencetuskan ide untuk mendirikan sekolah sendiri, di desa mereka. Sebuah sekolah alternatif, berbasis komunitas.
Sekarang, di tahun 2008, Q-Tha telah berperan penting dalam pendirian 11 titik sekolah alternatif serupa SMP Q-Tha di dalam dan luar Salatiga. Dalam kurun waktu 6 tahun ini, torehan karya dan prestasi siswa-siswi Q-Tha telah cukup banyak, dan Q-Tha telah menjadi semacam sekolah ‘wajib’ dikunjungi bagi para pemerhati dan peneliti pendidikan. Berwujud SMP ketika didirikan, sekarang ia telah berkembang menjadi SMP/SMU Qaryah Thayyibah. Bahkan telah pula me-launching Universitas Qaryah Thayyibah di tahun 2007. Dari siswa yang hanya 12 orang telah menjelma menjadi sebuah komunitas belajar dengan ratusan warga belajar.
Problem Substantif Pendidikan
Bahruddin tidak sendirian. Di belahan lain negeri ini, banyak pemuda-pemuda serupa Bahruddin menjadi pendobrak dari kebuntuan solusi problema pendidikan Indonesia. Tidak hanya menyiasati soal dana pendidikan, tetapi sudah sampai pada inovasi substansi dalam memaknai arti belajar. Mereka hendak menawarkan proses belajar alternatif yang lebih membebaskan dan manusiawi, sebagai jawaban atas kondisi cara belajar ‘terkungkung’, yang umumnya berlaku di bangku-bangku sekolah di Indonesia.
Secara garis besar problem substantif pendidikan di Indonesia, khususnya di jenjang Dasar hingga Menengah, adalah : Pertama, kesulitan untuk mengintegrasikan beragam subyek mata pelajaran menjadi suatu kegiatan belajar yang terpadu.
Eksis di kehidupan nyata membutuhkan integrasi beragam ilmu pengetahuan, kemampuan kognisi, dan spirit berkinerja. Namun, kehidupan (belajar) di sekolah justru memisah-misahkannya, sehingga efeknya adalah terjadi kegagapan kolektif ketika lulusan sekolah masuk ke dunia nyata. Lagi, membutuhkan proses cukup panjang untuk bisa merubah paradigma dan cara mengajar yang integratif, karena lembaga ilmu pendidikan (plus psikologi) yang memproduksi guru-guru berpanduan pada referensi atau kurikulum yang memisah-misahkan ilmu pengetahuan.
Kedua, sekolah terlalu berorientasi pada kecerdasan siswa. Dimana representasi kecerdasan itu bahkan telah tereduksi sedemikian rupa menjadi angka-angka (nilai). Padahal, tugas hakiki sekolah, sebagaimana mengutip Mohammad Fauzil Adhim (Suara Hidayatullah, 2008), adalah membentuk pribadi yang memiliki integritas moral tinggi, berakhlak mulia dan produktif yang berpijak pada fondasi akidah (keimanan).
Banyak hal dalam definisi kecerdasan yang tak bisa diwakili dalam angka, namun nampak nyata-nyata ada dalam kehidupan. Dalam konteks keimanan yang ‘berbicara’, seorang murid akan menemukan jati dirinya, mengetahui tujuan hidupnya, dan secara otomatis akan gigih mengejar kecerdasan (ilmu) yang dirasa memberi kemanfaatan bagi dirinya.
Inilah jawaban, mengapa banyak guru yang mengeluhkan betapa minimnya antusiasme anak didik terhadap ilmu, hatta ilmu itu telah dipromosikan sedemikian rupa oleh guru sebagai sesuatu yang bermanfaat di masa depan. Tak disadari, anak didik telah terlanjur ‘cedera’, terluka oleh penganiayaan akademik dalam bentuk pembebanan target-target penguasaan secara kognitif materi-materi pelajaran (terutama materi UN). Mereka gagap, tak mampu menghidupkan nalarnya, apalagi hatinya, untuk menghidupkan kepekaan diri, yang dengan kepekaan itu melahirkan semangat yang berkobar-kobar untuk mencerdaskan diri dan menebar kemanfaatan.
Ketiga, kesulitan menerapkan prinsip belajar menyenangkan dan kesetaraan guru-murid sebagai subyek pembelajar. Meskipun dua hal ini telah diketahui lama dalam dunia paedagogis, namun prakteknya tidak banyak ditemukan. Pendidikan gaya ‘bank’ yang dikritik oleh Paolo Freire (LKis, 2003) sebagai dehumanisasi ala sekolah, serasa telah menjadi pola baku sekolah dan tak mudah untuk diubah begitu saja.
Akar dari problem ini adalah karena guru terbebani oleh beban kurikulum yang padat. Meskipun, telah dikembangan KTSP (kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) yang berarti sekolah bisa menyusun model kurikulum sendiri, faktanya banyak sekolah memilih copy-paste dari sekolah lain. Tentu saja, karena tak ingin ketinggalan dengan sekolah lain. Terutama dalam hal prestise dari persentase kelulusan UAN. Yang ada malah guru-guru mengeluh, karena ‘nambahin kerjaan’, sebab harus banyak menulis rencana belajar beserta laporan hasilnya, hingga permingguan.
Sebuah niat baik yang kemudian bergeser menjadi perangkap administratif. Walaupun ruh kurikulum telah dibuat seakomodatif mungkin terhadap perubahan dinamika dan realitas sosial, akan tetapi kultur kerja homogenitas dan kenyamanan dalam rutinitas selama bertahun-tahun, membuat tak banyak guru yang mampu merubah paradigma dalam waktu cepat, dan mempersembahkan cara belajar terbaik bagi muridnya.
Alhasil, lagi-lagi murid selalu diposisikan sebagai obyek belajar, sosok yang tak banyak tahu dan harus diberi tahu, atau pendengar yang setia. Sementara guru adalah sosok sempurna yang serba tahu, termasuk mengklaim paling tahu kebutuhan muridnya. Bahkan lebih fatal, menjadi algojo atau minimal pemberi label (namun legal), terhadap baik-buruk kondisi dan masa depan murid. Hal yang sebenarnya terbukti di sepanjang sejarah peradaban manusia lebih banyak kelirunya daripada benarnya. Apa yang menimpa Thomas Alfa Edison, adalah satu contoh saja. Ketika ia diberi label nakal lagi bodoh, dan dikeluarkan oleh sekolahnya, namun lalu dunia mengenangnya sebagai orang jenius lagi kreatif, penemu ratusan barang-barang berguna terutama lampu sebagai karya masterpiece-nya.
Para siswa, yang remaja itu, bukannya tak berbuat sesuatu. Dalam setiap kesempatan ‘berbicara’, diwakili oleh rekan-rekannya yang kritis, mereka cukup berani mengkritik institusi sekolah yang menurut mereka nyaris tiada beda dengan penjara.
Ini terbukti dalam pengalaman pribadi penulis, saat menjadi juri dalam Lomba Menulis Artikel untuk Siswa SMA/MA se-Jawa Tengah bertema dunia pendidikan. Kegiatan yang digelar oleh aktivis-aktivis KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) Daerah Semarang bekerja sama dengan salah satu biro lokal koran nasional beberapa bulan lalu ini, diikuti oleh 44 peserta. Hampir tiga perempat naskah yang masuk berisi curah hati para siswa terhadap cara belajar yang menjemukan, membebani dan tak membebaskan. Ada yang sebatas mengeluh, namun ada juga yang menawarkan ide-ide segar kreatif agar sekolah bisa menjadi tempat favorit yang senantiasa dirindukan.
Kiprah Pemuda
Apa yang dilakukan oleh Bahruddin dengan komunitas belajar Qaryah Thayyibahnya, adalah cara intelek pemuda masa kini menyelesaikan masalah. Sangat khas pemuda. Karena ia mendobrak dan merubah. Ia pendobrak kebekuan berpikir linear bahwa bersekolah itu harus di sekolah formal dan agen perubah dari kondisi status quo; yaitu sulit dan mahalnya mengakses pendidikan bermutu lagi membebaskan, terutama bagi warga desanya. Ia kini, meski tak mengikuti Pilkades, tapi telah menjadi semacam pemimpin kultural di wilayahnya. Di tambah sifat rendah hatinya, maka makin segan orang karenanya.
Profil pemuda seperti Bahrudin di negeri ini banyak jumlahnya. Hanya saja mereka miskin publisitas, dan mungkin pula tak begitu mementingkan popularitas alias lebih mengedepankan aktivitas. Mereka lahir dan berkiprah secara natural, menjadi lentera atas gelap kondisi rakyat, dan hebatnya, ada yang tanpa pamrih alias menjalankannya dalam semangat kerelawanan.
Selain Bahrudin dkk di Q-Tha Salatiga, di ranah pendidikan alternatif (non formal), sekedar menyodorkan nama, ada Rohmat Sarman di Karawang yang berangkat dari Majelis Taklim Nurul Hidayah yang belajar dengan TV dan radio siaran indie. Sekolah Orang Rimba di Sumatera bersama Butet Manurung, Dik Doank dengan Sekolah Alam Kandang Jurang Doank, Komunitas Rumah Belajar Samoja Bandung, Sekolah Teknonatura Depok, Komunitas Belajar Kaki Langit Jakarta. Termasuk pula model Homeschooling-nya Kak Seto dan ASAH PENA. Juga sekolah Mangunan di pinggir kali Code Jogjakarta. Dan masih banyak lagi, baik ia berupa komunitas belajar, saung, maupun sanggar.
Di lini sekolah formal, ruh pendidikan membebaskan juga digagas oleh Lendo Novo dengan Sekolah Alamnya (sekolah formal rasa alternatif). Sekolah yang menitikberatkan interaksi murid dengan alam terkembang sebagai guru dan laboratorium hidup ini, kini mulai menginspirasi banyak anak-anak muda untuk mendirikan sekolah serupa di berbagai daerah. Tercatat, setidaknya Sekolah Alam ada di Ciganjur-Jakarta, Parung-Bogor (dengan nama School of Universe), Banten (Sekolah Peradaban), hingga Semarang (penulis mengabdi di sini), Jogjakarta, Surabaya, dan yang terbaru di Balikpapan.
Masing-masing memiliki keunikan dan problemanya sendiri. Saat ini, pola-pola pendidikan membebaskan memang lebih mungkin leluasa diterapkan di sekolah alternatif nonformal. Namun, dengan adanya sekolah formal yang berusaha menerapkannya, bagaimanapun kontroversialnya, akan menguntungkan anak-anak Indonesia. Sebab muara pendidikan yang membebaskan adalah menciptakan profil manusia seutuhnya, bukan manusia siap kerja atau kelas pekerja.
Kerja keras para pegiat pendidikan membebaskan ini tidak sia-sia. Terutama, ketika pendidikan alternatif nonformal diakomodasi dan dilindungi UU. Kompas (04/04/2006) menulis hasil wawancaranya dengan Ella Yulaelawati, Direktur Pendidikan Kesetaraan Depdiknas, bahwa sesuai UU Sisdiknas, pendidikan nonformal dapat menjadi pengganti, penambah, atau pelengkap pendidikan formal. Dimana satuan pendidikan nonformal, bisa berbentuk lembaga kursus, pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, majelis taklim, dan satuan pendidikan sejenis. Pesertanya bisa didaftarkan sebagai komunitas belajar pendidikan nonformal dan bisa mengikuti ujian kesetaraan Paket A (setara SD), B (setara SMP), atau C (setara SMA) tanpa harus bergabung dalam pusat kegiatan belajar masyarakat alias PKBM.
Bebas Dari Penindasan
Pendidikan yang membebaskan, sejatinya membebaskan guru dan murid dari hubungan dangkal : belajar sekedar untuk menjawab soal-soal, dengan cara dangkal pula : mengingat dan menghafal. Pendidikan membebaskan adalah jawaban dari sebuah fakta mengejutkan bahwa ‘mata pelajaran’ penting ternyata tidak diajarkan di sekolah-sekolah, yaitu : cara meraih masa depan dan cara menemukan ide-ide baru. Pendidikan membebaskan menghargai kecerdasan majemuk setiap siswa, kaya metodologi, belajar tanpa batasan waktu, dan memperlakukan semua hal sebagai guru. Sederhananya, belajar matematika, IPS, ekonomi, sains, dan akhlak, bisa dilakukan dengan misalnya mewawancarai atau magang dengan tukang bakso.
Cara belajar yang ekstrim seperti tadi sulit dilakukan di sekolah regular/formal. Percaya atau tidak, tapi menurut pakar pendidikan alternatif, Utomo Dananjaya (2005), salah satu sebabnya karena pendidikan formal di Indonesia masih menjadi bagian dari tradisi pendidikan zaman Hindia Belanda. Dimana spirit utamanya adalah sekedar berketerampilan “calistung” (baca, tulis, hitung), karena nantinya ‘cuma’ dikaryakan menjadi pegawai rendahan di perkebunan dan pabrik orang-orang Belanda. Sekolah ini pun oleh Belanda dibuat diskriminatif karena ada Sekolah Rakyat untuk rakyat jelata dan HIS, ELS, dan HCS untuk bangsawan dan orang-orang kaya pribumi.
Wilde Ordonantee School atau Ordonansi Sekolah Liar kemudian dikeluarkan, ketika pemuda-pemuda Indonesia mengkritisi kebijakan diskrimintaif itu dengan mendirikan sekolah-sekolah swasta, yang digagas oleh para aktivis Muhammadiyah, Ma’arif, Jamiatul Khair, Taman Siswa, dan pesantren-pesantren. Meski kemudian, Belanda hengkang dari Indonesia, namun warisan paradigmatik yang mengakar sekian lama tetap saja tak menguntungkan sekolah-sekolah swasta, apalagi yang bersifat sekolah alternatif nonformal.
JIka ditarik garis merahnya, ternyata perjuangan pemuda dan aktivis pendidikan masa kini tak jauh bedanya dengan perjuangan pemuda Indonesia masa lampau. Yaitu sama-sama membebaskan diri dari penindasan. Bedanya, jika pemuda dulu memperjuangkan pendidikan untuk memupuk semangat kebangsaan dan meraih kemerdekaan fisik, maka pemuda masa kini memperjuangkan kemerdekaan atau kebebasan dari cara berpikir sempit terhadap ilmu dan pendidikan, yang mucul dari sisa-sisa karakter inferioritas bangsa yang pernah terjajah.
Pemuda pejuang pendidikan masa kini juga berhadapan dengan agressor zaman baru : kapitalisme pendidikan. Dimana hak warga negara untuk mengakses pendidikan bermutu terhalang oleh ketidakmampuan ekonomi atau kesejahteraan, yang faktanya tidak pernah merata dirasakan rakyat.. Bahwa hanya orang kaya yang bisa sekolah, meskipun konstitusi negara mewajibkan negara bertanggungjawab terhadap kekuatan pendidikan rakyatnya.
Dalam perspektif lain, jikalau para aktivis dan pemuda-pemuda kritis Indonesia kemudian, melahirkan sekolah alternatif bermutu plus dengan konten pendidikan yang membebaskan, lengkap dengan segala keterbatasannya, maka secara tidak langsung, ini adalah ‘tamparan’ buat pengelola negara. Karena sejatinya, bagaimanapun kondisinya, negaralah yang paling berkewajiban menyediakan pendidikan bermutu bagi warga negaranya.
Sejujurnya, saya sedikit iri pada AS, yang memiliki presiden seperti JFK, karena ia adalah tipe pemimpin yang memiliki apresiasi tinggi terhadap sekolah dan pendidikan. Ia adalah sedikit dari pemimpin dunia yang bertanya, ” What’s wrong with our education? What’s wrong with our classromms?. Berbekal dengan pertanyaan krtis itu, para guru, murid, orang tua, dan pemerhati pendidikan kemudian terus bereksplorasi menghasilkan luaran pendidikan yang bermutu, yang ujungnya bisa memperkuat bangsanya. Dalam tujuan akhir, yang bisa membuat bangga umat manusia dan kemanusiaan, sebagai wakil Allah di muka bumi.
Wa Allahu a’lam bisshowab.
* Naskah ini menjadi Pemenang Harapan II Lomba Menulis Esai Kepemudaan Menpora dan FLP 2008
Penulis : Doni Riadi
Pegiat Komunitas Wedangjae