Dua tahun Tragedi Pattani

Berikut ini adalah oleh-oleh esai dari
Sapto Waluyo saat berkunjung ke Penang, Malaysia (15-16 April) untuk
menghadiri seminar tentang nasib muslim Patani, tepatnya di Universitas
Sains Malaysia. Delegasi Indonesia lumayan lengkap, ada mahasiswa
(KAMMI), Majelis Mujahidin (Irfan Awwas dan Ust. Muhammad Thalib),
peneliti (Imam Nur Azis dari CIR, yang juga pegiat Komunitas Wedangjae)
dan Lukman Age dari Institute Aceh), dan wartawan SAKSI (Suhud), juga
TARBAWI (Zairofi).

Tanpa publikasi gencar, pemerintahan
sementara Thailand di bawah kepemimpinan Pj. PM Chidchai Vanasathidya
telah memperpanjang Peraturan Darurat (Emergency Decree) yang
diberlakukan bagi tiga Provinsi di wilayah selatan (18/4). Peraturan
Darurat itu dikeluarkan pertama kali oleh mantan PM Thaksin Shinawatra
pada Juli 2005 setelah rangkaian insiden yang menewaskan sedikitnya 1200
warga Muslimin di Narathiwat, Patani, dan Yala.

Peraturan Darurat itu menggantikan UU Darurat Militer (Martial Law) dan harus diperbaharui setiap 90 hari dengan persetujuan sidang Kabinet. Jadi, bukan produk hukum yang dikeluarkan atau disetujui Parlemen, apalagi berdasarkan kebutuhan masyarakat setempat. Substansi Peraturan Darurat sepenuhnya melanggar Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tentang Hak Asasi Manusia (HAM), dan Kovenan PBB tentang Hak Sipil dan Politik, serta Kovenan Anti Penyiksaan dan
Perlakuan yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia. Sejak lama pemerintah Thailand yang mengaku berideologi Budhisme itu melakukan diskriminasi rasial terhadap warga Muslim Patani yang menghuni wilayah selatan ratusan tahun lampau.

Dengan Peraturan Darurat itu, maka pemerintah Thailand dapat melakukan penahanan selama 30 hari tanpa dakwaan kepada siapapun yang dicurigai, memeriksa dan menangkap warga tanpa jaminan keselamatan dan pembelaan, serta melakukan penyadapan telepon kepada sembarang rumah penduduk di wilayah selatan. Peraturan itu juga memberi kekebalan kepada pihak keamanan
(tentara dan polisi) dari segala gugatan, sehingga dikritik oleh pemerhati hukum dan HAM akan menimbulkan suasana impunitas (tindakan tanpa pertanggung-jawaban hukum).

Ironis, tak ada respon yang memadai dari masyarakat internasional. Seakan-akan dunia menutup mata dan bungkam terhadap pelanggaran berat HAM (gross human rights abuse) yang dilakukan pemerintah Thailand sejak dua tahun lalu. Tragedi mutakhir itu bermula dari razia militer di Provinsi Narathiwat pada 4 Januari 2004 yang diikuti dengan pemberlakuan UU Darurat Militer.

Dua bulan kemudian (12/4/2004) seorang pengacara muslim terkenal, Somchai Neelapaichit diculik dan tidak ketahuan nasibnya hingga kini. Nasib Somchai mirip dengan aktivis HAM Munir di Indonesia yang diracun secara misterius. Tak ada upaya sedikitpun dari pemerintah Thailand untuk mengungkap penculikan dan penghilangan paksa itu, sebagaimana dialami puluhan — bahkan ratusan — warga Thailand Selatan lainnya.

Beberapa pekan kemudian (28/4/2004) terjadi penyerbuan di Masjid Krue See yang menewaskan sedikitnya 108 pemuda Muslim. Sebelum tewas dibantai, kaum muda itu disuruh membuka baju dan berjalan merangkak di atas jalan. Nama “Kreu See” adalah pelafalan lokal atas kota Gerisik. Itu menandakan dakwah Islam di masa Sunan Gresik pernah sampai ke negeri Gajah Putih. Karena itu, masyarakat dan pemerintah Indonesia semestinya memiliki kepedulian dan tanggung-jawab moral untuk mendukung penyelesaian konflik di Thailand Selatan secara damai.

Tragedi berdarah di Masjid Krue See seolah belum cukup, masih diikuti dengan pembantaian di Tak Bai yang menewaskan sekurang-kurangnya 79 warga Muslim, sedangkan 1000 demonstran akhirnya ditahan (25/10/2004). Semua catatan hitam itu tertutup dari sorotan dunia luar, karena pemerintah Thailand di masa kepemimpinan Thaksin memberlakukan UU Militer yang kemudian diganti dengan Peraturan Darurat. Thaksin juga terkenal pandai berkampanye dan berdiplomasi, antara lain, dengan menyebarkan ribuan burung kertas dari atas pesawat udara sebagai tanda perdamaian. Padahal, kenyataan di lapangan Thaksin membiarkan aparat keamanan bertindak kejam.

Sampai saat ini sudah 500 warga yang ditahan secara paksa, tanpa bukti kesalahan yang nyata. Ada sekitar 3000 warga lain yang diincar pihak keamanan dengan alasan terlibat gerakan separatis militan bersenjata. Setiap hari adalah ketegangan dan kedekatan pada kematian bagi warga di wilayah selatan. Menurut sumber kepolisian Thailand di wilayah perbatasan selatan sendiri, dalam setahun terakhir sudah 200 warga yang tewas (New Straits Times, 19/4). Itu belum termasuk kasus pembunuhan dan penghilangan orang yang tidak terdata.

Anggota Dewan Rekonsiliasi Nasional, Arifin Thaipratan, mengungkapkan sepanjang tahun 2005 lalu tercatat 1.765 korban tewas. Dari jumlah itu terungkap 607 korban Muslim dan 538 warga Budhis, serta 30 mayat tak dikenal. Sedang korban terluka mencapai dua ribuan orang. Kekerasan yang dilakukan aparat, dengan alasan merazia kelompok separatis terbukti menimbulkan korban
sipil dari kedua belah pihak. Tapi, Thaksin tidak peduli karena isu selatan menjadi salah satu komoditas politik yang laris di masa pemilu.

Namun, meski Thaksin telah memenangkan pemilu terakhir beberapa waktu lalu, rakyat Thailand tetap menolak legitimasi kepemimpinannya, sehingga Thaksin harus mengundurkan diri. Sayangnya, pemerintahan sementara Chidchai diduga masih berada di bawah bayang-bayang kekuasaan Thaksin. Para pengamat meyakini Thaksin sedang menjalankan “skenario Lee Kuan Yew” yang tetap
memainkan peran menentukan, walau sudah mundur secara formal dari kancah politik. Kemiripan Thaksin dan Lee jadi lebih besar, karena keduanya menguasai sektor ekonomi terpenting di negara masing-masing.

Dalam seminar di Universitas Sains Malaysia, Penang(15 – 16  April lalu), dikeluarkan rekomendasi agar pemerintah Thailand, khususnya pihak pihak kepolisiandan t entaranya, segera menghentikan kekerasan di wilayah selatan. Selain itu peserta yang terdiri dari delegasi Malaysia, Indonesia, Thailand dan Filipina menuntut pemerintahan Pj. PM Chidchai Vanasathidya agar mencabut Peraturan Darurat yang jelas-jelas melanggar prinsip-prinsip HAM dan kovenan internasional.

Masyarakat Muslim sendiri sudah lama menuntut pemerintah Thailand agar memberikan kesempatan
pembentukan zona administratif khusus (mothon) kepada wilayah selatan (Narathiwat, Patani, Yala dan Setun). Tuntutan itu bukan mengada-ada, sebab telah ditetapkan sebagai amanat konstitusi Thailand. Jika masyarakat internasional mendorong penyelesaian damai di Aceh dalam bingkai otonomi khusus, mengapa hal serupa tak bisa dilakukan di Thailand Selatan?

Akar sejarah Melayu di wilayah Thailand bisa dilacak sampai abad ke-8, tarikh berdirinya Kerajaan
Langkasuka. Kerajaan itu bertahan sampai abad ke-13, saat berubah menjadi Kerajaan Melayu Patani yang beribukota di Kampong Gerisik. Fakta sejarah itu menuntut penelitian yang lebih serius tentang hubungan Kerajaan Patani dengan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara (Indonesia).

Dalam spirit kesejarahan yang genuin, maka pemerintah Indonesia dan pemimpin negara-negara ASEAN sepatutnya mendesak pemerintah Thailand agar menghentikan segala bentuk pelanggaran HAM di kawasan selatan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ketua MPR Hidayat Nur
Wahid juga pantas mendesak lembaga internasional seperti Organisasi Konperensi Islam (OKI), agar
berperan aktif karena Thailand telah dinyatakan sebagai salah satu negara peninjau dalam setiap
konperensi OKI. Bahkan, Komisi HAM PBB harus mengirimkan tim pencari fakta demi mengusut
pelanggaran HAM di wilayah selatan.

Jika segala upaya diplomatik dan langkah hukum itu tidak mempan, maka seluruh elemen civil society di Indonesia dan negara-negara ASEAN seharusnya mendukung kebebasan dan keadilan bagi warga di Thailand Selatan dengan cara melakukan protes damai ke Kedubes Thailand. Kalau perlu, kita memboikot produk ekspor dari Thailand, apabila pemerintah Thailand tidak segera menghentikan kekerasan dan mencabut Peraturan Darurat.

Di era globalisasi informasi, tak ada sebuah negara yang bebas melakukan kekejaman tanpa kontrol dari komunitas internasional. Sebagaimana tindakan aparat Thailand pada 7 November 2005 yang membubarkan secara paksa demonstrasi di Kantor Polisi Bannangstar, hingga menewaskan 2 warga dan 15 lainnya ditahan. Padahal, mereka hanya menuntu keadilan karena keluarganya ditahan di kantor polisi tanpa alasan masuk akal.

Belum kering darah warga Patani, sembilan hari kemudian (16/11/2005)
dilakukan razia militer di desa Kathong. Hasilnya, 9 warga ditembak
mati, 7 diantaranya berusia di bawah 20 tahun dan korban paling muda
berusia hanya 8 bulan. Kematian seorang bayi mestinya menjadi pertanda
tragedi ini harus segera diakhiri, tanpa ditunda-tunda lagi!

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *