Pada tulisan terdahulu Penulis mengungkapkan tiga tahapan memajukan Wakaf yakni literasi (kampanye), kreasi dan Konversi. Ketiga tahapan tersebut sebaiknya dilakukan secara masif, adaptif, cepat
responsif (agility) serta berkelanjutan (sustainabilty). Masifikasi literasi wakaf diperlukan karena “kids zaman now” begitu
cepat bergerak dan menerima terpaan digital informasi yang mengepungnya
setiap saat.
Jumlah gadget dan saluran penghubung (connectedness) makin banyak dan
beragam sehingga diperkirakan tahun 2020 dengan penduduk 7,9 milyar akan
justru memiliki 50 milyar gadget.
Generasi Milinial dan Digital Native segera disusul generasi Alpha
merupakan keniscayaan yang tidak bisa dipungkiri menjadi bagian dari
kelak Masyarakat Wakaf. Mereka yang kini berusia belasan dan awal dua
puluhan tahun ini akan menjadi tulang punggung Digital Generation Wakaf
(Dig Gene Wakaf).
Seperti kita fahami nilai utama dalam pengelolaan asset wakaf pada
hakikatnya adalah sustainibility. Bahkan agar semua nilai wakaf tidak
hanya produktif namun semakin naik nilai produktivitasnya.
Maka para pemangku kepentingan Wakaf kini mau tidak mau harus
menyiapkan program yang adaptif dan cepat merespon kebutuhan masyarakat
Dig Gene Wakaf alias kalangan Generasi Milinial dan para Digital Native
(kids zaman now).
Tentu banyak hal yang harus disiapkan sebagai karpet merah era wakaf “kids zaman now”.
Salah satu tantangan yang patut direspon dalam masyarakat Dig Gene Wakaf adalah Fenomena FoMo (Fear of Missing out).
Istilah FOMO pertama kali dikemukakan oleh seorang ilmuwan asal
Inggris bernama dr. Andrew K. Przybylski. Gangguan kejiwaan yang
mendorong keinginan seseorang untuk mengikuti tren terkini secara
berlebihan ini, muncul seiring dengan tumbuhnya budaya online, terutama
akibat gencarnya penggunaan media sosial.
Para generasi Milinial yang diklaim sebagai pengguna media sosial terbanyak, dianggap sangat rentan mengalami FoMO. Menurut penelitian ada tiga gejala FoMo:
Pertama, Tidak Bisa Lepas dari Ponsel
Ada banyak hal yang membuat atau merasa khawatir berlebihan saat tidak
memegang ponsel, seolah ketinggalan banyak informasi atau berita
terkini. Generasi Milineal selalu butuh online, sering mengecek semua
media sosial, hanya untuk mengetahui apa yang dilakukan orang-orang di
sekitar lewat media sosialnya. Parahnya jika sampai tidak dapat mengatur waktu yang tepat untuk
bermain gadget hanya karena perasaan takut kehilangan informasi.
Dua, Terobsesi dengan Postingan Orang Lain
Rasa keingintahuan generasi milenial memang terfasilitasi lewat media
online. Sayangnya tingkat kekepoan yang tinggi terhadap orang lain
mendorongnya melakukan stalking media sosial teman, ataupun idola
sehingga terobsesi terhadap postingan mereka. Tak jarang juga memanfaatkan media sosial untuk bersaing akibat perasaan iri atau cemburu terhadap orang lain.
Sebuah survei yang dipublikasikan dalam majalah Forbes menyebutkan bahwa
sumber FOMO yang dialami seseorang dipicu karena ketidakpuasan terhadap
hidupnya. Penderita FOMO bahkan sering berpikir apakah orang lain lebih
bahagia dari dirinya.
Tiga, Lebih Peduli Kehidupan di Media Sosial
Ilusi media sosial yang sebenarnya lebih sering menampakkan sisi
kehidupan terbaik seseorang, mendorong banyak orang untuk lebih peduli
terhadap pencitraan dirinya di media sosialnya.
Akibatnya, banyak yang mulai tidak peduli dengan kehidupan dan hubungan
dengan orang lain di dunia nyata. Bahkan saat berkumpul dengan orang
lingkungan sebenarnya, para Milenials justru lebih tertarik memantau
perkembangan berita di media sosial.
Selain itu, ada dorongan untuk agar tampak eksis. Seolah ada perasaan
takut dianggap hilang jika tidak memposting sesuatu di media sosial.
Tidak mudah untuk menjawab tantangan FoMo dalam menyiapkan Digi Gene
Wakaf. Seyogianya kalangan Milinials diberdayakan secara kontinyu dengan
program literasi masif, adaptif dan responsif. Mereka harus dilibatkan
dalam menciptakan aplikasi yang mampu mentransformasi nilai negatif FoMo
menjadi nilai positif. Sejak dini para Milinial didukung modal Wakaf
produktif agar agresif sebagai bisnis “start up” untuk melahirkan
berbagai aplikasi yang pro masyarakt wakaf di era Milinial.
Penulis : Imam Nur Azis
Komisioner BWI 2017-2020
Pegiat Komunitas Wedangjae