Apa perbedaan ideologi dengan peradaban ? Bagaimana pengaruhnya terhadap tatanan global dunia? Dimanakah posisi ideologi dan peradaban dalam gerakan mahasiswa ? Adalah pertanyaan fundamental yang layak dipahami oleh seorang aktivis gerakan mahasiswa muslim.
Yang jelas, setelah blok komunis runtuh pada kurun waktu 1980-an, maka perbincangan tentang ideologis dianggap sudah selesai. Para pemikir kemudian kemudian menemukan cara pandang baru yang lebih komprehensif yaitu peradaban. Dalam tataran lokal masional, friksi diantara tiga ideologi besar –nasionalis, agama (Islam), dan komunis—tidak lagi menarik dibicarakan dibanding dengan pembicaraan seputar peradaban barat, Islam, dan konfusian.
Tulisan berikut ini bukanlah sebuah analisis orisinil penyusun, tetapi kumpulan tulisan dari beberapa penulis dan pengamat peradaban yang dimuat dimedia massa, baik berupa artikel, resensi, maupun kutipan-kutipan dari esai ilmiah populer. Dengan harapan, dapat digunakan sebagai bahan diskusi yang hangat untuk memperkaya wacana benturan peradaban dan perang pemikiran.
Fawaz A. Gerges (2002)
Kebijakan luar negeri Amerika terhadap Islam, menurut Gerges, dipengaruhi dan menjadi ladang tarik ulur antara dua kubu akademisi, intelektual dan wartawan Amerika.
Kubu pertama, kubu konfrontasionalis, meyakini Islam politik sebagai “musuh baru” setelah komunisme runtuh dan menyarankan agar Amerika membasminya. Pendukung kubu ini, antara lain Samuel Huntington, Bernard Lewis, dan Daniel Pipes, berusaha meyakinkan publik bahwa ajaran Islam secara umum bertentangan dengan “peradaban Barat yang demokratis”. Huntington dan Lewis mengatakan bahwa Islam secara intrinsik tidak demokratis. Pipes bahkan lebih kasar lagi mengatakan ajaran Islam pada dasarnya “terorisme”.
Kubu kedua, kubu akomodasionis, menolak deskripsi Islamis sebagai “anti- Barat” serta “antidemokrasi” dan menyarankan agar Amerika “tidak menentang penerapan hukum Islam atau aktivis gerakangerakan Islam, jika program-program tersebut tidak mengancam kepentingan vital Amerika”. Pendukung kubu ini, antara lain John L. Esposito dan Robin Wright, menyarankan Amerika memberi peluang munculnya politisi demokrat Islam.
Namun, kesimpulan akhir Gerges sangat menarik. Meski ada banyak pernyataan para pejabat Amerika tentang Islam, menurut Gerges, Amerika Serikat sebenarnya “tidak punya kebijakan yang komprehensif, koheren, dan konkrit tentang peran Islam dalam proses politik”. Baik Bush Sr maupun Clinton, menurut Gerges, lebih mengutamakan kebijakan-kebijakan jangka pendek yang diilhami oleh kepentingan pragmatis.
Christianto Wibisono
Pada dimensi ideologi dan falsafah, maka para pakar terpecah dalam dua setengah kubu yang saling berlawanan walaupun barangkali masih mempunyai secercah titik temu yang rawan serta memerlukan kultivasi genius negarawan yang toleran dan demokrat. Kubu pertama diwakili oleh Francis Fukuyama yang menguraikan teori keunggulan demokrasi leberal sebagai produk final dari upaya manusia mencari metode penyelesaian konflik dan akomodasi ambisis manusia secara modern, tertib dan rasional. Karena itu ia menulis buku The End of History and The Last Man sebagai tesis mengenai sistem politik”final” yang harus diambil manusia jika mereka ingin mengatasi konflik secara tertib.
Sebaliknya kubu kedua diwakili oleh Samuel P Huntington secara pesimis meragukan kebenaran tesis Fukuyama tentang akhir konflik ideologi antar manusia setelah berakhirnya perang dingin dan runtuhnya Tembok Berlin. Huntington merujuk pada insiden Tiananmen dan perang teluk yang merupak bukti adanya kesenjangan dan konflik baru pasca perang dingin, yang lebih mendasar dan mirip dengan pola konflik di zaman Perang Salib pada Milenium Pertama. Dalam buku The Clash of Civilzation and the Remaking of World Order Huntington meramalkan bahwa dunia akan memasuki konflik antar peradaban. Tiga peradaban yang paling dominan yaitu Barat Kristen, Sinic Confucian dan Islam akan bertarung memperebutkan hegemoni. Di luar tiga besar ada 5 sub peradaban yang tidak begitu dominan yaitu Jepang, Rusia, Hindu, Amerika Latin, dan Afrika.
Menurut seorang cendekiawan Muslim pemengang Hadia Nobel Fisika, Prof Abdus Salam dalam buku Idealis and Realities. Orang harus membedakan antara agama sebagi ritual dan pengejawatahan jiwa dan semangat serta ajaran agama, dalam pola tingkah laku dan budaya yang diterapkan secara konkret dalam kehidupan sehari-hari. Menurutnya juga, dunia Islam pernah mengalami zaman keemasan ketika Eropa justru berada pada Abad Kegelapan (the Dark Ages) karena toleransi yang moderat dan meritokrasi yang dipraktekkan secara konsisten tanpa fanatisme dan ekstremisme agama.
Sebenarnya suatu paradox yang jarang diingat oleh banyak pegamat ialah fakta bahwa ekonomi AS sangat tergantung pada lalu lintas pinjaman melalui mekanisme pasar berupa penjualan Obligasi Pemerintah AS (Us Treasuries Notes and Bonds). Negara dan Pemerintah AS adalah pengutang terbesar di dunia, tetapi mereka melelang obligasi yang dimenangkan justru oleh mereka yang rela menerima suku bunga terendah dari Pemerintah AS.
Karena investor dunia seperti Jepang dan kaum elite negara maju termasuk Cina Perantauan Asia Tenggara percaya bahwa AS tidak akan mengemplang utang atau kudeta oleh oknum militer, maka arus modal terbesar justru mengalir ke AS melalui Arsitektur Finansial Global yang berlandaskan mekanisme pasar. Tetapi pasar AS sangat dipercaya, sedang pasar negara berkembang seperti kita mengalami distorsi akibat KKN. Sehingga arus dana ditarik keluar sebagai bagian dari lingkaran setan depresi mata uang, impotensi ekspor dan erosi daya beli dan daya saing nasional Dunia Ketiga.
Sayd Tahrera
Persentuhan Islam-Barat, Sebuah Keniscayaan
Barat, dalam realitasnya bukan saja sebutan untuk sebuah bangsa. Namun dengan sebutan itu pula, norma, adat, sistem bahkan ideologi telah menjadi model ideal bagi negara penghuni dunia ketiga, sebagai percontohan negara modern. Ali Syariati pernah mengatakan yang ditulisnya dalam buku Peranan Cendekiawan Muslim, “tujuan dari alternatif ini (globalisasi) bukanlah kekerasan, melainkan mengatur terjadinya perubahan mendasar : yaitu mengubah nilai-nilai agar shampo, kemeja, lipstik dapat diterima. Masyarakat harus dimodernisasi secara global, kalau sudah modern, mereka akan menerima dengan senang hati apa yang ditawarkan kepada mereka”. Alangkah benar sinyalemen Ibnu Khaldun (1332-1406) “Orang taklukan selalu meniru penakluknya, baik pakaian, perhiasan, kepercayaan serta adat kebiasaan lainnya”.
Sedang dalam buku Agama dan Modernisasi Politik, Donald E Smith, mensinyalir : sekularisasi yang dibawa Barat merupakan keniscayaan dunia yang mengalami proses modernisasi. Sebab ciri terpenting dari modernisasi adalah sekularisasi. Berbeda Maryam Jamella dalam menanggapi persentuhan Islam dan barat, di bukunya Islam versus the West, ia menyebutkan : pemikir-pemikir Islam seperti Sayid Qutub, Muhammad Qutub, Muhammad Asad lebih jelas dan tegas memaparkan paradoksal antara Islam dan Barat. Maryam Jamella -seorang Yahudi keturunan yang sebelum memeluk Islam bernama Margareth Marcus-menegaskan bahwa antara Islam dan Barat terdapat perbedaan yang fundamental, menurutnya “the imitation of Western ways of life based on their materialistic, pragmatic and secular philosophies can only lead to abandonment of Islam”.
Melalui tesisnya, Prof. Hutington meyakinkan Barat, bahwa idelogi adalah senjata paling ampuh dalam perumusan pola hubungan internasional dan pembentukan Tata Dunia Baru. Dengan adanya dominasi tunggal AS, telah melahirkan Tata Dunia Baru. Sebagai negara nomor satu di dunia, AS mengatur tata politik dunia dengan bendera kapitalismenya. Berkaitan dengan penyebaran kapitalisme ini ada satu hal yang harus betul-betul diperhatikan yakni, setelah AS berhasil memantapkan dominasi ideologi kapitalisme secara internasional, maka kini AS tengah berusaha untuk memantapkan dominasi ideologi secara universal.
Adian Husaini
Di bukunya Sekularisme Penumpang Gelap Reformasi, menyebutkan setidaknya politik luar negeri AS berpijak pada dua pendulum antara idealisme (HAM dan demokratisasi) dan pragmatisme (national interest). Standar ganda yang dimainkan AS lebih mengedapankan pragmatisme ketimbang idealisme. Artinya, demi mempertahankan national interest-nya, maka AS rela mengorbankan nilai-nilai HAM dan demokrasi, meskipun kedua nilai itu sudah menjadi kebijakan resmi politik luar negeri.
Pertanyaan selanjutnya, mengapa AS menggunakan perang melawan terorisme sebagai senjata kepentingan ekonominya? Boleh jadi, perang melawan terorisme ini merupakan alat yang paling cepat dan efektif. Dengan begitu, AS bisa masuk ke wilayah manapun di dunia ini dan menguasainya dangan alasan menyerang terorisme. Cara ini juga efektif untuk mengancam dan menundukkan negara-negara yang membakang terhadap AS. Tampaknya, AS melihat, semata-mata menggunakan instrumen ekonomi seperti IMF dan WTO tidaklah cukup dan terlalu bertele-tele.
Huntington ‘The Clash of Civilization” (1993),
Huntington berpendapat bahwa ikatan sekelompok masyarakat modern semakin ditentukan oleh warisan agama, bahasa, sejarah, dan tradisi yang mereka miliki bersama atau yang disebut sebagai peradaban.
Ia berpendapat bahwa benturan antarperadaban akan terjadi karena tiga hal pokok: hegemoni/arogansi Barat, in-toleransi Islam dan fanatisme konfusianisme. Lebih lanjut Hungtington menyebutnya sedikitnya ada enam alasan mengapa terjadi perang antarperadaban di masa depan yaitu: 1) perbedaan antar peradaban tidak hanya riil, tetapi juga mendasar, peradaban terdiferensiasi oleh sejarah, bahasa, budaya, tradisi, dan yang lebih penting lagi, agama. 2) dunia sekarang sehingga antara orang yang berbeda peradaban semakin meningkat. 3) proses modernisasi ekonomi dan perubahan dunia membuat orang atau masyarakat tercerabut dari identitas lokal mereka yang sudah berakar dalam, disamping memperlemah negara-bangsa sebagai sumber identitas mereka. 4) tumbuhnya kesadaran peradaban dimungkinkan karena peran ganda Barat. Di satu sisi, Barat berada di puncak kekuatan, namun di sisi lain, peradaban-peradaban non-Barat telah kembali ke fenomena asalnya. 5) karakteristik dan perbedaan budaya kurang bisa menyatu dan karena itu bisa berkompromi dibanding karakteristik dan perbedaan politik dan ekonomi. 6) regionalisme ekonomi semakin meningkat dengan penekanan pada aspek agama yang menjadi roh peradaban.
Huntington bahkan melihat bahwa agamalah yang banyak berperan dalam konflik antarperadaban di masa depan. Kita seakan di ingatkan bahwa agama tidak hanya berfungsi sebagai wacana spiritual yang menghadirkan rasa aman dan damai, tetapi juga bisa menampilkan sosoknya yang seram dan menakutkan. Agama bisa meletupkan konflik dan pertikaian ketika diinterpretasi sesuai dengan kepentingan sepihak umat atau kelompok agama. interpretasi yang subjektif itu memberi wewenang pada pemeluk agama untuk membunuh dan mengobarkan perang atas nama Tuhan dan Kitab Suci.
Dalam pandangan Huntington, dunia pasca-Perang Dingin adalah sebuah dunia dengan tujuh atau delapan peradaban besar. Kesamaan-kesamaan serta perbedaan-perbedaan kultural membentuk kepentingan-kepentingan, antagonisme-antagonisme serta asosiasi-asosiasi antarnegara. Negara-negara besar terdiri dari berbagai negara dengan peradaban mereka masing-masing. Konflik-konflik lokal rupa-rupanya menjadi sebab timbulnya pertikaian dalam skala yang lebih luas antara berbagai kelompok dan negara yang memiliki peradaban yang berbeda-beda. Pola-pola perkembangan politik dan ekonomi saling berbeda antara satu peradaban dengan peradaban lainnya. Salah satu persoalan utama yang masuk dalam agenda internasional adalah adanya perbedaan-perbedaan antar-peradaban. Kekuatan peradaban tampaknya mengalami pergeseran dari Barat menuju peradaban-peradaban non-Barat. Dan, politik global pun menjadi bersifat multipolar dan multisivilisasional.
Ruslani
Oleh karena itu, menarik memperhatikan tesis Huntington (The Clash of Civilizations and the Remaking of the World Order, 1996) yang mendefinisikan “peradaban” sebagai pengelompokan terbesar masyarakat yang melampaui tingkat pembedaan manusia dari spesies lainnya. Sebuah peradaban ditentukan oleh anasir-anasir objektif bersama-bahasa, sejarah, agama, adat, dan lembaga-lembaga-juga oleh swa-identifikasi masyarakat. Huntington menyatakan, kini ada tujuh atau delapan peradaban besar di dunia: Barat, Konfusius, Jepang, Islam, Hindu, Kristen Ortodoks, Amerika Latin, dan “mungkin” Afrika.
Teori Huntington berusaha menentang skenario “akhir sejarah” pasca-perang dunia mengenai sebuah tatanan internasional berdasarkan penerimaan universal atas model ekonomi kapitalis, tanpa perubahan pada cakrawala sejarah manusia selanjutnya. Arti penting tesis Huntington ini terletak pada faktor-faktor kultural yang bisa dipertimbangkan sebagai perkembangan yang amat positif. Hingga kini, hubungan dan konflik antarnegara sudah terbiasa dijelaskan menurut analisis ekonomi. Lembaga-lembaga politik tumbuh di luar struktur kekuatan ekonomi, dan budaya adalah ekonomi, dalam arti, di Barat, sistem pasar menentukan kerangka nilai-nilai umum yang dalam teori seharusnya secara independen dimunculkan oleh budaya sendiri.
Namun, Huntington seolah melihat peradaban sebagai blok monolitik. Padahal, dalam kenyataan tidak demikian. Sebagian peradaban, misalnya peradaban Islam, terutama ditentukan oleh wahyu keagamaan; yang lain, seperti Konfusius, ditentukan oleh hubungan antara agama yang mengilhami mereka dan kekuasaan politik yang kurang jelas. Dalam peradaban Barat, versi Katolik atau Protestan dari agama Kristen membentuk bagian dari lanskap budaya mereka, meski masyarakat negara-negara Barat amat terbagi berdasar kepercayaan keagamaannya. Dalam setiap peradaban, ada beberapa tren pemikiran yang mengikuti garis-garis pengakuan, dan yang lain mengikuti garis-garis penempatan-subjek perdebatan yang kini hidup di negara-negara seperti Turki dan Italia.
Kenichi Ohmae (1995)
Namun, konflik-konflik dalam dunia modern tidak hanya antar peradaban, bahkan dalam peradaban yang sama bisa terjadi konflik. Menurut Kenichi Ohmae, dalam peradaban yang sama, masyarakat sering berperang di antara mereka masing-masing. Misalnya, konflik di Irlandia Utara antara penganut Protestan dan Katolik, bukan merupakan alasan yang tepat untuk menyatakan kebencian yang mendalam, karena sama-sama Kristen. Contoh lain, akan sulit menjelaskan konflik di Ambon, di mana masyarakatnya berada dalam tradisi dan suku yang sama. Perbedaan keyakinan dalam masyarakat Ambon, antara Islam dan Kristen, bukanlah perbedaan besar, karena pada intinya sebenarnya kedua agama itu sama punya tradisi dan akar sejarah yang sama: semitik.
Dalam bukunya yang berjudul The End of Nation State (1995), Ohmae berpendapat bahwa perang biasanya terjadi ketika para pemimpin politik menonjolkan perbedaan-perbedaan kecil secara tajam seraya menciptakan kebencian laten bukan ketika antar peradaban saling berbenturan, sebagaimana dinyatakan Huntington. Seakan menyanggah tesis Huntington, Kenichi Ohmae berpendapat bahwa konflik-konflik terjadi lebih disebabkan oleh para pemimpin politik yang kolot yang melibatkan rakyat untuk melakukan konfrontasi bersenjata.
Hans Kung (1997)
Seorang teolog besar abad ini, Hans Kung, mengajukan sebuah visi besarnya tentang etika global. Dalam karyanya yang berjudul A Global Ethics for Global Politics and Economics (1997), Hans Kung menyatakan tak akan ada tatanan baru tanpa sebuah etika dunia yang baru; sebuah etika global. Ia mendefinisikan etika global sebagai sebuah konsensus dasar tentang nilai-nilai pengikat dan sikap dasar yang dikukuhkan oleh semua sistem kepercayaan (agama) meskipun terdapat perbedaan dogmatis, dan yang sesungguhnya bisa juga disumbangkan oleh kaum non-beriman (ateis).
Dalam kehidupan masyarakat global, menurut Hans Kung, konsensus berarti kesepakatan yang memerlukan standar etika fundamental (nilai-nilai universal) yang meskipun terdapat banyak perbedaan wujudnya dalam agama, bentuk-bentuk kehidupan, budaya, politik, namun dapat diposisikan sebagai basis terkecil bagi kehidupan masyarakat yang pluralistik. Sebuah konsensus global dimungkinkan terwujud di atas moralitas dasar yang membatasi dirinya hanya pada beberapa tuntutan fundamental (nilai-nilai universal); seperti kebenaran, keadilan, kemanusiaan, dan semacamnya. .
Tentu saja, nilai-nilai universal dalam sebuah konsensus global tidak bersifat subjektif (monologal). Artinya, kebenaran dalam sebuah konsensus tidak bisa didasarkan pada klaim kebenaran yang sifatnya subjektif atau kebenaran yang dipikirkan sendiri. Menurut Jurgen Habermas, orang tidak boleh menganggap klaim kebenarannya sebagai kebenaran yang sudah selesai yang mengatasi hubungan-hubungan sosial (FB Hardiman: 2002). Karena kebenaran yang sifatnya subjektif bisa mentotalisir atau fasis, seperti yang dilakukan oleh Hitler dan Musollini.
Jadi, kebenaran dalam sebuah konsensus, seperti yang dikatakan Habermas, bersifat intersubjektif (dialogal). Melalui dialog yang bebas dominasi, jujur dan terbuka, nilai-nilai konsensus sebagai etika global dapat dikukuhkan. Tanpa etika global, cepat atau lambat masyarakat modern terancam konflik-konflik dan kekacauan.
Louis Burhani
Hubungan Orang Islam dengan Barat
Kaum muslimin berhubungan dengan Barat lewat jalur Andalusia (Spanyol). Pada saat itu umat Islam tengah menyebarkan ajaran Islam ke dunia Barat. Selain itu, umat Islam juga membawa berbagai kemajuan, yang tercermin dalam peranan ilmu pengetahuan dan berdirinya universitas-universitas, seperti Universitas Granada dan Cordova.
Setelah itu, orang-orang Barat datang bersama tentara salibnya pada abad pertengahan. Mereka datang tanpa membawa pemikiran dan peradaban. Mereka tidak memiliki sesuatupun yang bisa membuat kagum penduduk negeri yang mereka kuasai. Sampai-sampai Usamah bin Munqidz mengomentari pasukan berkuda tentara salib dengan mengatakan “Mereka adalah sekumpulan binatang ternak. Tidak ada yang mereka miliki kecuali keahlian berperang”
Ketika mereka kalah, dan penjaga benteng-benteng pertahanan mereka menyerah, maka selang dua abad kemudian mereka tidak meninggalkan sedikitpun pengaruh kepada kehidupan umat Islam.
Aktifitas Barat di Negeri Islam
(1). Setelah keruntuhan Daulah Islamiyyah, mereka mengerat-erat negeri Daulah Islamiyyah ke dalam banyak institusi, seperti Turki, Cyprus, Irak, Suriah, Pakistan dan lain-lain.
(2). Mereka terus menyerang bahasa Arab. Mereka menjadikan bahasa mereka untuk meminggirkan bahasa Arab di negeri-negeri Islam. Mereka juga mendorong digunakannya dialek-dialek pasar (bahasa pasaran)
(3). Mereka mencekoki kita dengan sebuah klim bahwa mereka telah bangkit berlandaskan nasionalisme. Mereka mempopulerkan banyak partai nasionalis dan patriotis, yang semua itu dilakukan demi menjauhkan kita dari Islam.
(4). Mereka menganologikan Islam dengan Nasrani, seraya mengatakan bahwa jika kita menginginkan sebuah kebangkitan, maka kita harus memisahkan agama dari kehidupan sebagaimana yang telah mereka lakukan.
(5). Mereka mengubah sistem pemerintahan di negeri-negeri Islam dari sistem pemerintahan Islam menjadi sistem pemerintahan kapitalistik.
(6). Mereka menciptakan jurang pemisah diantara negeri-negeri yang baru terbentuk (pecahan dari Daulah Islamiyyah) untuk memecahbelah antar sesama putra-putri umat Islam, disamping untuk memperdalam jurang pemisah yang terdapat di antara berbagai institusi yang baru muncul itu. Mereka memunculkan isu-isu seperti masalah tapal batas negara, semangat nasionalisme, dan kesukuan, seperti munculnya masalah Kashmir, Cyprus, Palestina, Sahara di Maroko, dan Tepi Barat.
(7). Mengeksploitasi kekayaan kaum muslimin untuk kepentingan Barat, seperti minyak dan barang tambang.
(8) Menjadikan dunia Islam sebagai pasar konsumtif bagi Barat dan mencegah berdirinya industri-industri produksi dan industri-industri berat.
(9). Barat memaksakan kebudayaan mereka kepada Umat Islam, dengan memasukkan kebudayaan-kebudayaan tersebut ke dalam kurikulum pendidikan dan berbagai media informasi seperti radio, surat kabar dan majalah.
Pengaruh Peradaban Barat terhadap Kaum Muslimin
(1). Berbagai persepsi dan eksperimen Barat telah dijadikan sebagai patokan baku bagi para pelajar dan politikus kita. Sehingga, semua yang serba kebarat-baratan dianggap sebagai sesuatu yang modern dan maju. Sebaliknya, semua yang tidak berasal dari Barat dianggap kampungan.
(2). Putra-putri terbaik umat Islam, terutama yang belajar pada universitas-universitas di Barat, terpesona dengan peradaban Barat. Akhirnya, mereka menyerukan untuk meniru peradaban Barat dalam rangka menyongsong sebuah kebangkitan, setelah lama kita lama dalam kelemahan dan keterpurukan. Hal ini nampak pada berbagai anggaran dasar dan rumah tangga partai-partai nasionalis dan patriotis dan juga pada kurikulum pendidikan kita.
(3). Dalam hal tingkah laku, umat Islam mulai menyimpang jauh dari hukum-hukum Islam. Akhirnya mereka melangsungkan berbagai aktivitas berdasarkan asas manfaat materi seperti riba.
Lester Peason (1950)
Ia telah mengingatkan bahwa manusia akan memasuki “suatu abad ketika berbagai peradaban yang berbeda mulai belajar hidup berdampingan secara damai, saling memahami antara satu dengan yang lain, mempelajari sejarah, cita-cita, seni, dan kebudayaan serta saling memperkaya kehidupan masing-masing. Sebagai dampak dari kondisi dunia yang semakin menyempit ini terjadi kesalahpahaman, berbagai ketegangan, benturan dan bencana.” Masa depan perdamaian (dunia) dan peradaban bergantung pada adanya sikap saling pengertian dan kerjasama di antara tokoh-tokoh politik, spiritual dan intelektual dari peradaban-peradaban besar dunia.
Muhammad Ali (2003)
Kecongkakan budaya (cultural arrogance) bahwa sistem agama, budaya, dan peradaban yang dianutnya yang paling unggul, membuat seseorang tidak berdaya untuk tidak mengecilkan sistem agama, budaya, dan peradaban lain. Identitas diri begitu kuat sehingga menafikan identitas the Other. Publik Barat masih menganggap budaya dan peradaban mereka lebih maju, lebih superior dibandingkan peradaban Timur, dan selalu berusaha melalui penguasaan berbagai media informasi untuk mencitrakan bahwa superioritas itu adalah keniscayaan sejarah modern. Tradisi orientalisme (yang intinya memandang the Orient sebagai monolitik dan inferior) adalah salah satu ekspresi superioritas itu, seperti telah dikritik Edward Said.
Ada pula kendala teologis. Barat begitu bangga dengan karakter keagamaannya dan sekulerismenya, sementara masyarakat Muslim fanatik dengan sistem budayanya yang kaffah (sempurna) dan diyakini bertentangan secara diametral dengan peradaban Barat.
Widodo Dwi Putro
Ideologi memang berwajah ganda, seperti dikatakan Ernst Bloch yang dikutip ulang generasi penerusnya Douglas Kellner dalam artikel lepasnya Ernst Bloch, Utopia and Ideology Critique sebagai berikut, “For Bloch, ideology is “Janus-faced”, two-sided: it contain errors, mystifications, and techniques of manipulation and domination, but it also contains a utopian residue or surplus that can be used for social critique and to advance progressive politics.”
Di balik sisi gelap pertikaian ideologi-terutama kapitalisme melawan sosialisme-pertikaian itu membawa kemajuan dan kegairahan dialektika di bidang ilmu-ilmu sosial. Para teoritisi kapitalisme, misalnya, berlomba-lomba melahirkan teori-teori modernisasi untuk membendung semangat komunisme dan antikapitalisme. Pertikaian antar-ideologi dalam sekian dasawarsa, telah mengorbankan banyak nyawa manusia. Misalnya, revolusi borjuis di Perancis, perang saudara (civil war) di AS, Nazi Jerman, rezim Stalinis di Rusia, rezim Pol Pot di Kamboja, gerakan “30 September” di Indonesia, “Black September” di AS, dan seterusnya. Lantas sebagian orang berkesimpulan, ideologi merupakan ladang pembantaian sesama manusia atas nama keagungan cita-cita.
Uniknya, dalam tubuh kapitalisme sendiri terjadi pertarungan teoretik antara Neo Klasik (Keynesian) yang masih menginginkan campur tangan negara (welfare state) dengan Neoliberalisme yang menginginkan kedaulatan pasar sepenuhnya. Pertarungan ini “diselesaikan” Neoliberalisme dengan pembagian peran: Milton Friedman melucuti pemikiran ekonomi Neo Klasik dan Frederick von Hayek melawan sosialis-komunis, ditunjang lembaga dana internasional (IMF, World Bank, dan sebagainya).
Di sisi lain, para teoritisi sosialis-komunis melahirkan teori-teori yang menelanjangi keserakahan kapitalisme sekaligus kritik (anti) terhadap kapitalisme, misalnya teori “materialisme dialektika-historis” (Karl Marx), teori “strukturalis” (Althusser), teori “hegemoni” (Antonio Gramsci), teori “ketergantungan” (Shamir Amin, Andre Gunder Frank, dan sebagainya).
Selain itu, dalam kelompok “kiri” muncul teori “kritis” (Max Hokreimer, Theodor W Adorno, Herbert Marcuse, dan sejumlah penerusnya) yang berupaya menyingkap dan menyobek selubung-selubung ideologis yang menutupi kenyataan tak manusiawi dari kesadaran manusia. Dengan membuka kedok-kedok ideologis dalam segala hal-termasuk bangunan pemikiran teori “kritis” itu sendiri-teori “kritis” ingin mengajukan kembali maksud dasar Marx, yakni pembebasan manusia dari segala belenggu penindasan dan pengisapan, tetapi secara kritis dan antidogmatis.
Di luar kubu kapitalisme dan sosialisme, muncul postmodernisme sebagai kritik atas modernisme dan keluar dari tradisi enlightenment. Meski beraneka warna, filsafat bernapaskan postmodernisme bersatu dalam penolakan “cerita-cerita besar” (grand narrative) penyelamatan manusia, menolak obyektivitas ilmu pengetahuan, dan menolak pemikiran dikotomis (binary opposition). Penekanan faham ini pada the right of different (hak untuk berbeda). Dengan gaya dekonstruksinya, faham ini memutus (discontinuity) rantai perdebatan ideologi “kanan-kiri” beserta seluruh rasionalitas yang membenarkannya.
Akhir pertarungan, pemenangnya adalah kapitalisme. Kemenangan paradigma kubu kapitalisme, menurut George Ritzer (jurnal The American Sosiologist No 10, 1975), disebabkan pendukungnya lebih mempunyai kekuatan dan kekuasaan, bukan karena teori itu lebih manusiawi, lebih baik, apalagi lebih benar.
Namun, kemenangan itu oleh sebagian pendukungnya lalu diwartakan sebagai “kebenaran akhir”. Pewarta kebenaran itu salah satunya adalah Francis Fukuyama dalam The End of History and The Last Man menyebut zaman ini sebagai “titik akhir dari evolusi ideologis manusia” dan bentuk final “pemerintahan manusia”. Alasannya, telah terjadi kesepakatan luar biasa berkenaan dengan pengakuan terhadap demokrasi liberal sebagai sistem yang diterima di seluruh dunia.
Di sisi lain, ilmu pengetahuan modern (teori modernisasi) telah menghasilkan pandangan seragam tentang corak produksi secara ekonomis (kapitalisme). Dengan kata lain, Fukuyama ingin menyerukan, dialektika manusia sudah “usai” karena telah mencapai titik akhir ide absolut, bahkan kebenaran absolut di bawah kemenangan mutlak kapitalisme.
Komarudin Hidayat
Reposisi peran agama
Jika pada masa lalu hubungan antara identitas agama dan budaya sedemikian menyatu di bawah kepemimpinan figur karismatik, kini wilayah budaya di luar agama berkembang melesat dan menghasilkan jaringan peradaban yang mengglobal sehingga posisi agama merupakan salah satu variabel saja. Menghadapi kenyataan ini, sikap umat beragama beragam. Pertama, ada yang berpandangan hal itu adalah perkembangan alami, agama hanya bekerja pada wilayah moral dan spiritual sehingga agama harus rela tampil sebagai penyejuk, ibarat sebuah teknologi AC (air conditioner) bagi sebuah bangunan besar. Kehadirannya tidak mencolok, tetapi amat diperlukan agar kehidupan menjadi sejuk dan nyaman.
Kedua, ada yang berpandangan, agama harus berkembang seiring perkembangan wilayah budaya dan sains yang begitu berjaya mengendalikan perubahan zaman. Karena itu, harus dilakukan reinterpretasi ajaran dan revitalisasi peran sosial agama. Liberalisasi penafsiran kitab suci dan rekonstruksi pranata keagamaan harus dilakukan agar agama tidak tersisih ke luar gelanggang percaturan politik, ekonomi, dan peradaban.
Ketiga, ada yang memberi respons konservatif-reaksioner. Mereka berpandangan, agama telah memiliki cetak-biru (blueprint) yang ideal, yang harus dijadikan rujukan masyarakat, sebagaimana yang pernah terwujud di zaman keemasannya. Di sini bukannya agama diubah-ubah penafsirannya agar sesuai dengan perkembangan, tetapi perkembangan yang harus tunduk pada agama.
Keempat, mempertahankan hubungan antara agama dan komunalisme etnis ataupun kelompok sehingga perkembangan agama dan budaya tampil menyatu. Misalnya, fenomena negara Israel, Arab Saudi, Libya, dan sekian negara lain sulit dipisahkan antara semangat agama, suku, bangsa, dan kepentingan ekonomi.
Dalam konteks global, manuver politik Gedung Putih dan tesis Huntington telah menyeret dan menyertakan isu agama ke dalam konflik ekonomi dan politik sehingga peran dan citra agama tidak lagi sebagai pusat dan sumber peradaban, tetapi dijadikan pemicu peperangan dan terorisme. Mitos agama sebagai pusat peradaban dan misi keselamatan telah redup, diganti mitos baru: agama adalah problem dan sumber kerusuhan.
Nah, setelah mencermati pemikiran dari 14 analis diatas, marilah kita menjawab satu persatu pertanyaan krusial seputar posisi, peran, sikap gerakan mahasiswa muslim dalam konteks benturan peradaban baik benturan intern ataupun antar. Bagaimana sesungguhnya sikap yang paling bijak dalam menyikapinya ?
Selamat Berdiskusi !
Penulis : Doni Riadi
Pegiat Wedangjae
(Bahan pemantik Diskusi Kajian Strategis KAMMI Daerah Semarang, Maret 2003)