Mereposisi PKL dalam Ruang Publik

Persoalan utama setiap kota saat ini tidak bergeser jauh dari permasalahan penataan ruang publik dan pedagang kaki lima
(PKL). Meskipun komunitas PKL seringkali menjadi dagangan politik yang
aduhai saat kampanye, namun dalam tindak lanjut penanganannya,
keberadaan PKL selalu memunculkan permasalahan baru. Jika dibiarkan,
populasinya akan berkembang dan mengganggu kenyamanan publik, namun jika
dilarang akan membawa ekses sosial berkepanjangan. Inilah wajah khas kota dari negeri yang sedang berbenah.

PKL selalu menempati areal-areal ruang publik, yang seharusnya
memang murni untuk kepentingan publik. Di Semarang, kita bisa melihat,
betapa sulitnya berjalan kaki di trotoar jalan Pandanaran. Selain
trotoar yang sempit, keberadaan trotoar itupun masih diganggu keberadaan
PKL. Belum lagi sejumlah jalan protokol lainnya, seperti jalan Mataram,
dr Sutomo (Kalisari), atau bahkan yang tidak disediakan ruang bagi
pejalan kaki, semacam di jalan Fatmawati, Tentara Pelajar, dan masih
banyak lagi. 
Karena karakternya yang khas itulah, maka pemerintah mengadopsi ruh
PKL. Polisi membangun pos di trotoar, layanan perpanjangan sim dan stnk
dengan mobil di ruang publik, pembayaran rekening listrik, pengurusan
npwp dan pembayaran pajak, hingga resepsi hari jadi kota atau
acara-acara seremonial pejabat yang harus menutup jalan raya.
Sesungguhnya keberadaan ruang publik, seperti lapangan Pancasila Simpanglima, sangat mutlak dibutuhkan untuk menjadikan warga Semarang lebih humanis. Mengutip uraian Hannah Arendt, filsuf Jerman, sebuah kota
hakekatnya adalah sebuah polis. Tempat bagi masyarakat
mengidentifikasi, negosiasi, dan memecahkan masalah atau konflik yang
muncul akibat rumitnya organisasi dan pembagian tugas dalam kota.
Tanpa ruang publik, warga kota akan menjadi masyarakat yang non konformitas, individualis, dan asosial. Warga kota
tidak lagi mampu berinteraksi atau bekerjasama dengan pihak lain.
Indikator utamanya, anak mudanya akan mengaktualisasikan diri secara
ekstrem.
Yang terjadi saat ini, ketika ruang publik makin menciut, muncul tempat-tempat yang menjadi “seakan-akan ruang publik” (pseudo public space).
Tempat-tempat seperti mal, kampus, taman kantor pemerintah, stadion,
menjelma seakan-akan menjadi ruang publik. Tempat dimana warga Semarang bercengkerama, berpacaran, bahkan cekcok.
Pergeseran ini, sangat disadari oleh para pelaku bisnis, dimana mereka kemudian membangun tempat-tempat dengan menggunakan nama square, garden, dan masih banyak lagi. Bahkan ada yang mengklaim sebagai town square.
Padahal tempat yang seolah-olah menjadi ruang publik ini, sangat
dibatasi (pagar, satpam, jam operasi, dll). Kondisi ini diperburuk
adanya pendudukan ruang publik oleh para PKL, misalnya Simpanglima di
Sabtu-Minggu. Belum lagi anggapan warga kota bahwa tempat-tempat yang “seakan-akan” ruang publik, dianggap bisa menggantikan ruang publik.
Ketegasan
Pemerintah Kota Semarang dalam melakukan pembatasan jam beroperasi bagi
PKL di lapangan Pancasila Simpanglima, bisa diapresiasi sebagai bentuk
pengendalian atas pendudukan ruang publik oleh PKL. Para PKL ini
memiliki tujuan “konsumsi sebanyak-banyaknya” dengan mengatasnamakan
kebutuhan hidup.
Namun
jangan salah, para PKL berlaku demikian sebagai bentuk protes terhadap
pemkot yang selalu menyediakan tempat bagi pemilik modal. Lihat saja
pembangunan mal-mal di kawasan Peterongan, Thamrin, hingga pinggiran kota. Semua seperti disengaja untuk menciptakan warga kota yang konsumtif, manja, egois, dan asosial.
Singkat
kata, keberadaan PKL di sejumlah ruang publik, memang tak seharusnya
langsung diluluhlantakkan atas nama penegakan perda. Namun pemkot perlu
lebih introspeksi, khususnya dalam pemberian ijin bagi pembangunan
tempat-tempat semacam mal, yang notabene mematikan pola perdagangan
tradisional. Untuk kemudian menyediakan tempat-tempat yang bisa
berfungsi sebagai ruang publik.. Dengan demikian, tak ada kata menggusur
PKL dan memanjakan investor. Sebuah frasa yang sangat melukai rasa
keadilan.
 Penulis :Edhie Prayitno Ige 
Pegiat Komunitas Wedangjae
Jurnalis Radio El-Shinta

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *